Potensi Sumber daya Akuakultur di indonesia



 Potensi Sumber daya Akuakultur di indonesia

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional yang harus dikelola dengan baik. Indonesia memiliki pulau – pulau yang mendukung dalam kegiatan budidaya perikanan .Adapun potensi pengembangan budidaya perikanan diantaranya : Potensi budidaya dengan tujuan komersil, potensi budidaya dengan tujuan konservasi, potensi penerapan penyimpanan pelasma nutfah, potensi sumber pakan alami, dan potensi penggunaan teknologi gis dan 3d dalam mendukung budidaya perikanan. Dengan besarnya potensi yang dimiliki tersebut diharapkan dapat memberikan hasil budidaya yang maksimal.

Peluang untuk meningkatkan produksi ikan dari usaha akuakultur sangat besar, mengingat bahwa potensi perairan Indonesia cukup luas, baik yang berupa perairan umum (danau, waduk, sungai dan sebagainya), sawah irigasi, pantai, rawa mangrove, dan perairan budidaya (tambak, sawah, kolam, dan karamba). Luas perairan budidaya yang telah diusahakan sekitar 300 ribu ha dari 17.810 ribu ha total luas areal perairan Indonesia. Produksi akuakultur juga meningkat setiap tahun, seperti yang ditunjukkan dari data produksi akuakultur tahun 2004 sampai 2007 yang meningkat sebesar 28% (Ferinaldy 2008). Terdapat 12 jenis ikan yang menjadi primadona, beberapa di antaranya berupa Ikan Bandeng, Mas, Nila, Lele, Gurame, dan Patin yang menjadi andalan budidaya di air tawar. Perkembangan produksinya dari tahun 2006 mencapai pertumbuhan rata-rata 15% pada 2007 (Ferinaldy 2008). Sumberdaya manusia merupakan faktor utama penentu keberhasilan pembangunan perikanan akuakultur, dengan kapasitas sumberdaya manusia yang tinggi akan menjadikan potensi perikanan dapat terealisasikan secara optimal dan mampu bermain dalam percaturan perdagangan dunia yang sangat kompetitif. Namun, pada kenyataannya kapasitas pembudidaya ikan sebagai pelaku utama usaha akuakultur di Indonesia masih relatif rendah. Hal ini antara lain terindikasikan dari data bahwa 59,65% kepemilikan kolam pembudidaya ikan di Indonesia ada pada luasan < 0,1 ha (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008), keterbatasan kemampuan dalam menghasilkan ikan yang sesuai dengan permintaan pasar dalam segi kualitas, kuantitas, dan ketepatan pengiriman (Komisi Ikan Hias 2007), keterbatasan dalam mengakses informasi teknologi dan pasar (FAO, 2008), dan keterbatasan dalam mengakses modal dari lembaga keuangan formal, terkait dengan kesulitan dalam memenuhi persyaratan peminjaman ataupun ketidaktahuannya tentang prosedur peminjaman (Effendi dan Oktariza 2002). Pada umumnya pembudidaya ikan masih dikelola secara tradisional dengan mengandalkan pada kebiasaan yang selama ini dilakukan (Kuncoro, 2004) dan tidak melakukan pemisahan pengelolaan keuangan usaha dengan keuangan keluarga (Effendi dan Oktariza 2002).

 

Potensi Budidaya dengan Tujuan Komersil 

Budidaya dengan tujuan komersil umunya dilakukan pada biota yang memiliki nilai ekonomis tinggi atau pun yang berpotensi berilai ekonomis tinggi, seperti yang umum dapat ditemukan di perairan yaitu jenis makrozoobenthos. Makrozoobenthos seperti molluska diantaranya siput laut dan tiram), lalu jenis hewan kepiting dan, serta jenis hewan teripang dan bulu babi  , Gastropoda merupakan jenis siput laut yang juga umum ditemui di pesisir. Siput gonggong merupakan salah satu jenis hewan yang memiliki nilai ekinomis tetapi belum di budidayakan, dimana terdapat 4 spesies siput gongong.

 

 

Potensi Budidaya dengan Tujuan Konservasi

Budidaya untuk koservasi seperti pada karang dapat menggunakan metode trransplantasi seperti yang telah pernah dilakukan pada jenis Acropora Formosa. Budidaya untuk koservasi seperti pada lamun dapat menggunakan metode trransplantasi lamun, seperti yang telah pernah dilakukan pada jenis Enhalus acoroides ,jenis Syringodium isoetifolium ,serta jenis Thalassia hemprichii.

Jenis biota lainnya terutama benthos juga dapat dijadikan objek wisata sehingga dalam program konservasi juga memberikan nilai tambah dengan dimana bentuk wisatanya adalah ekowisata bahari dengan minat khusus ilmiah (Irawan 2015a), (Irawan and Yandri 2018), serta menonjolkan keanekaragaman hayati setempat

Lahan bekas penabangan bauksit yang membentuk genangan air yang luas pada dasarnya berpotensi di jadikan lahan untuk budidaya ikan, tetapi karena kadar logam berat yang terlarut di airnya masih cukup tinggi (Risandi et al. 2018), maka tidak bisa langsung dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya ikan, harus ada proses bioremediasi untuk mengurangi dan menghilangkan kandungan logam berat tersebut sesuai standar agar aman untuk dijadikan lahan budidaya ikan.

 

Potensi Penerapan Penyimpanan Pelasma Nutfah 

Selain memperbanyak jenis makan ada juga cara menyimpan materi genetic berupa sperma biota dalam kondisi yang super dingin agar tahan lama yang dikenal dengan kryopreservasi atau cryopreservation (Irawan, Vuthiphandchai, and Nimrat 2010), dimana beberapa hal yang penting untuk di perhatikan adalah pada pH (Irawan 2014a) dan cairan elektrolit atau pun non elektrolit (Irawan 2012).

 

Potensi Sumber Pakan Alami

Salah satu organisme pakan alami yang ditemukan di perairan lokal dan mudah di budiayakan sebagai pakan alami untuk larva adalah Apocyclop sp (Jayardi, Irawan, and Julianto 2017). Budidaya pakan alami yang besumber dari perairan lokal ternyata dapat dilakukan dengan metode yang sederhana menggunakan bahan dan alat yang dapat ditemukan dikehidupan sehari-hari sehingga akan mudah diterapkan oleh masyarakat

 

Potensi Penggunaan Teknologi GIS Dan 3D Dalam Mendukung Budidaya

 Perikanan Hewan benthos dapat dibudidayakan dengan wadah budidaya berupa pen culture yaitu wadah yang berbentuk kurungan. Menentukan kesesuain lokasi budidaya dapat menggunakan aplikasi GIS. Monitoring kegiatan budidaya baik objek budidaya dalap di lakukan dengan kamera bahawah air  dan untuk posisi di laut apat dimonnitoring dengan GPS seperti yang di terapkan pada kapal.

 

 

 

 

 

Hukum Akuakultur di Indonesia

 

PERMASALAHAN RIIL DI SEKTOR PERIKANAN

Terdapat 2 (dua) persoalan mendasar terkait langsung dinamika politik kebijakan kelautan dan perikanan di Indonesia. Pertama, disorientasi dalam hal pengelolaan laut itu sendiri. Perihal kekayaan sumber daya kelautan begitu melimpah, namun belum dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Mahkamah Konstitusi, ketika membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sekaligus mengeluarkan terobosan berupa penjelasan 4 (empat) tolok-ukur pengertian “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Keempat hal tersebut adalah: kemanfaatan SDA bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam (SDA) bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat menentukan manfaat SDA, serta penghormatan hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan SDA.

 Kedua, sebagai konsekuensi dari ideologi menyimpang tadi, terjadilah sektoralisme kebijakan pengelolaan SDA. Kelautan dilihat sempit hanya sebagai sektor (bahkan sebatas ekonomi). Karenanya, agenda kelautan dan warga yang menggantungkan hidupnya terhadap SDA Kelautan selalu dihadap-hadapkan (dan cenderung “kalah”) dengan kepentingan sektor ekonomi lain, seperti pertambangan, kehutanan, pertanian, dan seterusnya. Padahal, laut dan kelautan seharusnya menjadi arusutama pembangunan ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik bangsa.

 

 

KEBIJAKAN, REGULASI DAN KOORDINASI LINTAS SEKTORAL

1. Sistem Perijinan Usaha Perikanan

sistim perijinan usaha perikanan mencakup antara lain (1) Izin Usaha Perikanan: yang merupakan sarana untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut; (2) Izin Penangkapan Ikan: yang merupakan izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP; dan (3) Izin Kapal Pengangkut Ikan: yang merupakan izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan.

2. Pengaturan Zona Tangkap

hampir seluruh masyarakat pesisir Indonesia berprofesi sebagai nelayan atau terlibat di dalam insustri perikanan. Tuntutan untuk mendapatkan penghasilan yang memadai dan persaingan atas sumber daya yang ada, seringkali memunculkan gesekan antara nelayan yang berasal dari daerah yang berbeda. Permasalahan ini yang coba disinkronisasikan dan diselesaikan oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum undang-undang tersebut, pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan pengelolaan sampai dengan 4 mil laut, sedangkan provinsi sampai dengan 12 mil laut. Dengan UU Pemerintahan Daerah yang baru, hanya Pemerintahan Provinsi yang memiliki kewenangan pengelolaan kawasan laut, yaitu sejauh 12 mil laut.

Mengacu UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, urusan Kelautan dan Perikanan merupakan kewenangan Pemda sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) poin (a) UU tersebut. Selain itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai 12 mil, penertiban ijin usaha perikanan tangkap untuk perikanan berukuran di atas 5 GT sampai 30 GT, serta pengawasan sumber daya kelautan.

3. Ketersediaan Armada Perikanan

Adalah sebuah fakta bahwa saat dilakukan kebijakan pembekuan izin usaha kapal asing di wilayah ZEE maka diperoleh data pada wilayah ZEE kosong dari kapal penagkap ikan. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini kapal penangkap ikan nasional atau armada nasional selama ini tidak pernah beroperasi diwilayah perairan tersebut.

Berbagai regulasi dan kebijakan yang berupaya mendukung semakin besarnya armada nelayan Indonesia telah dilahirkan, termasuk dengan berbagai upaya memberikan kredit lunak kepada nelayan kecil. Selain itu, pemerintah pusat juga secara rutin memberikan bantuan berupa kapal penangkapan ikan yang memadai. Namun tentunya hal ini masih perlu ditingkatkan karena luasnya perairan Indonesia, khususnya armada penangkapan ikan untuk wilayah timur Indonesia yang masih sangat kurang jumlahnya. Dari sisi armada pengawasan perikanan yang notabene menjadi tulang punggung law enforcement di bidang perikanan faktanya jumlahnya juga masih sangat kurang.

Keterbatasan armada yang ada, dan dalam kondisi keuangan negara yang sangat terbatas, baik untuk penyediaan armada penangkapan, riset dan pengawasan telah banyak memunculkan ide untuk menyatukan fungsifungsi tersebut kepada setiap armada kapal yang ada untuk melengkapi berbagai kebutuhan akan data utama kelautan dan perikanan Indonesia di tengah keterbatasan armada yang ada.

4. Pengawasan dan Penegakan Hukum Sektor Perikanan

Kebijakan dan regulasi mengenai pemenuhan kualitas dan kuantitas aparat pengawasan dan penegakan hukum sektor perikanan dapat dianggap telah sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan. Permasalahan muncul lebih banyak di tataran implementasi, diantaranya adalah terkait dengan kendala pengadaan dan pendanaan sarana pengawasan dan penegakan hukum. Sampai dengan saat ini, jumlah kapal pengawas dan penegak hukum perikanan masih jauh dari kondisi ideal. Hal inipun belum menghitung jumlah hari layar yang masih terbatas.Dapat dibayangkan keperluan jumlah dana yang sangat besar untuk membeli sejumlah kapal dan biaya operasional agar dapat mengawasi perairan Indonesia dengan baik.

Permasalahan di lapangan lainnya adalah mengenai kurangnya pengawasan di bidang penerbitan perijinan yang mana disinyalir menjadi pintu masuk adanya tindak penyalahgunaan terhadap izin yang dimiliki oleh kapal Indonesia maupun asing. Dalam praktiknya pengawasan terkait perijinan ini sering berjalan tidak optimal, dapat dilihat dari masih banyaknya izinusaha perikanan kapal-kapal ex asing yang hanya diperbanyak terus menerus sedangkan kapal tersebut sudah beralih kebenderaannya.

Untuk permasalahan koordinasi tersebut, sesuai dengan UU Kelautan, maka telah dibentuk Badan Keamanan Laut yang diharapkan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan koordinasi pengamanan laut Indonesia. Namun faktanya pembentukan Bakamla saat ini juga masih menimbulkan beberapa kendala, yaitu permasalahan tumpang tindih kewenangan dengan instansi lain dan juga permasalahan sumber daya. Dari sisi kewenangan, telah banyak Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk melakukan penegakan hukum di perairan Indonesia. Adanya kewenangan secara perundangan yang setara ini tentunya menjadi suatu kendala tersendiri ketika adanya harapan Bakamla menjadi single agency yang melakukan seluruh tugas pengamanan dan penegakan hukum di laut. Untuk menyelesaikan masalah kewenangan ini tentunya memerlukan suatu terobosan kebijakan dan politik hukum. Akan sulit adanya “pengambilalihan” sebagian kewenangan dan resuources lembaga-lembaga yang ada dan setara secara perundangan.

5. Kesejahteraan Nelayan Kecil dan Masyarakat Pesisir

tujuan utama pemberdayaan industry perikanan adalah untuk mensejahterakan para nelayan dan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya perikanan dan kelautan yang ada. Dengan jumlah nelayan small scale Indonesia yang mencapai sekitar 90% maka hal ini memerlukan perhatian yang khusus dari sektor regulasi dan perundangan.

Pemberdayaan nelayan yang diperlukan adalah intervensi pemerintah dalam usaha perikanan, baik yang bersifat tradisional mau pun berbasis klaster industri. Pemberdayaan yang berbasis klaster industri perikanan lebih menekankan pada perbaikan sistem operasi perikanan, mulai dari perbaikan armada penangkapan sampai ke peningkatan kualitas hasil tangkapan nelayan. Pemberdayaan nelayan lainnya difokuskan pada pengembangan pengolahan tradisional dengan berbagai upaya perbaikan. alternatif kebijakan upaya-upaya perbaikan yang dapat dilakukan terutama terkait dengan perbaikan proses pengolahan, rasionalisasi dan standarisasi, serta jaminan dan pengawasan mutu.

 

 

KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA TERKAIT PERIKANAN

Hubungan Luar Negeri dengan jelas mendefinisikan politik luar negeri sebagai “kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional”

1. Ketentuan Hukum Internasional yang Relevan di bidang Perikanan 

Masalah perikanan terkait dengan berbagai aspek dalam hukum internasional mulai dari ketentuan yang berlaku dalam hukum laut internasional, misalnya hukum maritim, hukum lingkungan internasional, hingga hukum organisasi internasional. Secara umum, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam suatu negara adalah kewenangan asasi sebagai negara yang berdaulat. Hukum internasional sendiri mengakui hak dari suatu negara berdaulat untuk mengatur sumber dayanya.

Hukum internasional dewasa ini semakin berkembang dan menimbulkan berbagai kewajiban internasional kepada negara misalnya terkait dengan aspek ekologi terhadap pemanfaatan sumber daya maupun ketentuan pembatasan yang berlaku dalam rezim hukum internasional terkait perdagangan bebas dan investasi. Sebagai negara berdaulat, Indonesia telah menjadi negara pihak dari berbagai perjanjian internasional yang terkait dengan masalah perikanan. Ada empat kategori instrumen internasional terkait perikanan dimana Indonesia menjadi negara pihak, yaitu:

1. Perjanjian Internasional Perikanan yang mengikat untuk menghadapi permasalahan konservasi dan manajemen fish stocks, terutama straddling fish stocks dan highly migratory fish stocks.

2. Perjanjian internasional secara suka rela untuk mempromosikan kerangka prinsip dan standar untuk responsible fisheries.

3. Kerangka kerja sama regional untuk manajemen tuna dan spesies seperti tuna; dengan cakupan global

4. Perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup

 

Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional atau Institusi Internasional di bidang Perikanan dan Maritim Secara umum,

 keanggotaan Indonesia pada RFMO bertujuan untuk: a. Mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan tepat waktu melalui mekanisme pertukaran data dan informasi diantara negara pihak. b. Mendapatkan alokasi sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya terbatas (Straddling Fish Stock) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stock) melalui penetapan kuota internasional. c. Mendapatkan hak akses dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan di laut lepas. d. Memperoleh perlakuan khusus sebagai negara berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, bantuan pengawasan dan bantuan penegakan hukum. e. Berpartisipasi aktif dalam pemberantasan IUU Fishing Mempertegas hak berdaulat Indonesia berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia. f. Memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan internasional.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama