FIQIH DI ZAMAN TOKOH MADZHAB


FIQIH DI ZAMAN TOKOH MADZHAB




BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat.

Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab.

Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaan madzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor adaptasi perkembangan jaman.

Madzhab dalam hukum islam pun semakin bermunculan. Sebagai contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan madzhab syi’a terdiri dari madzhab Zaidi dan Imamiyah yang semua itu perlu untuk kita ketahui sebagai pertimbangan dalam kita melaksanakan keislaman.
Dalam makalah ini kami bermaksud membahas tentang madzhab fiqh dan seluk beluknya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian madzhab?

2. Apa saja faktor yang menimbulkan madzhab?

3. Apa saja macam – macam madzhab fiqh?

4. Apa saja faktor – faktor yang menyebabkan perbedaan fatwa dalam madzhab fiqh?

 

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari madzhab.

2. Memahami factor yang menimbulkan madzhab.

3. Mengetahui macam-macam madzhab.

4. Mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan perbedaan fatwa dalam madzhab fiqh.

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Pengertian mazhab ,menurut istilah  ulama  ahli fiqih ialah,: mengikuti sesuatu yang dipercayai misalnya:

 

“Si Fulan mengikuti dengan mazhabnya Fulan”.

Dengan ini dapat diartikan dasar pendirian yang diturut, karena telah penuh percaya. Misalnya seperti apa yang pernah dikatakan oleh imam Asy-Syafi’i.

 

 

“Apabila telah sah hadis, maka itulah pendapatku” yakini apabila ada suatu hadis yang shaheh, baik bagi beliau maupun bagi ulama ahli hadis yang lain, maka hadis itu adalah mazhab (dasar pemikiran) beliau.

Maka demikian mazhab hanya terdapat dalam masalah-masalah yang” Zanniah” atau” ijtihadiyah”.Karena itu tidak benar kalau dikatakan bahwa hokum salat lima waktu adalah wajib menurut mazhab Syafi’I sebeb hokum wajibnya salat itu adalah wajib yang setatus sumbernya bersifat qath’iyah (ma’lum min al-din bi al-darurat).

Menurut Abdul Hasan Al kaya, bermazhab dengan pengertian pertama wajib bagi orang awam, serta ahli fiqih dan ulama lain yang belum mencapai martabat/derajat mujtahid. Sebab kalau diperbolehkan untuk tidak bermazhab(mengambil mazhab sana-sini) mereka akan memilih yang ringan-ringan , hal ini akan menbawa akibat lepasnya tuntutan ta’lif.

Mazhab menurut pengertian kedua ialah hasil ijtihad imam tentang kaidah-kaidah istinbath untuk menggali suatu hukum.

Bagi ulama-ulama yang tidak mampu merumuskan kaidah-kaidah istinbaj, yaitu mujtahid, muntasib,mujtahid fatwa, dan mujtahid tarjih, apabila mereka hendak menggali hokum maka mereka wajib bermazhab dalam arti wajib bagi mereka berpegang pada kaidah-kaidah istinbaj yang dianut oleh imamnya. Bagi orang awam, atau ulama yang rtidak akan menggali hokum, tidak wajib bermazhab menurut pengertian kedua ini

B. Faktor yang Menimbulkan Madzhab

a.       Telah meninggalnya Rasulullah SAW dan banyak perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah – masalah baru.

b.      Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah – wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dan lain – lain.

c.       Pergaulan bangsa muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya, mereka berbaur dengan budaya, adat – istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.

d.      Akibat jauhnya negara – negara yang ditaklukkan dari pemerintahann Islam, membuat Gubernur, Qadi (Hakim) dan para ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan dan masalah – masalah baru yang dihadapi.

            Akhirnya, pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab, yang memiliki daerah wilayah daulah islam yang bertambah luas, hal itu menyebabkan tersebarnya para sahabat dan tabi’in ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti. Dan, mulai terbentuklah madrasa.

            Madrasah terbagi menjadi dua :

1.      Madrasah Hadits (Aliran Tradisionalisme)

Madrasah hadits pada permulaannya timbul di Hijaz (Madinah), karena penduduk Hijaz lebih mengetahui hadits Rasul dan lebih mengetahui tentang perkataan dan perbuatan (amalan) Rasul. Merekalah yang mendukung panji – panji hadits. Hijaz pada masa itu merupakan sentrum para ulama. Mereka terpengaruh oleh jalan pikiran fuqaha – fuqaha sahabat dan tabi’in. Dalam hal ini Ibn Qayyim berkata : “Ulama – ulama Madinah menerima ilmu dari murid – murid Zaid dan Ibnu Umar. Ulama Makkah menerima ilmu dari teman – teman Abdullah Ibn Abbas. Sedangkan penduduk Irak menerima ilmu dari Abdullah Ibn Mas’ud”.

Madrasah hadits ini, mula – mulanya dipimpin oleh Sa’id Ibn Musaiyab (wafat pada tahun 94 H) . Banyak yang berguru padanya. Fuqaha – fuqaha itu setelah mempelajari benar – benar bagaimana cara – cara istinbath Ibn Musaiyab, mereka pun bertebaranlah ke berbagai kota untuk menyampaikan dan mengajarkan hadits yang diriwayatkan oleh ulama – ulama Madinah. Mereka ada yang pergi ke Irak, ke Syam, Mesir dan lain - lain.

Yang mengendalikan madrasah ini, selain daripada Sa’id Ibn Musaiyab, ialah Salim Ibn Abdullah Ibn Umar, kemudian Az – Zuhri dan Yahya Ibn Sa’id, Kemudian sesudahnya Malik, Asy – Syafi’i, Ahmad dan Dawud.

Dalam meng – istinbath – kan hukum. Mereka akan mencari penyelesaian masalah itu pada Kitabullah, kemudian kepada Sunnatur Rasul. Kalau mereka mendapati hadits yang berbeda – beda, mereka mengambil hadits yang diriwayatkan oleh perawi – perawi yang lebih utama. Apabila mereka tidak memperoleh hadits, merekapun meninjau pendapat sahabat. Jika mereka tidak mendapati pendapat sahabat, mereka mempergunakan ijtihad, atau mereka tidak memberi fatwa. Akan tetapi, kecenderungan ini tidak lama masanya hingga wafatnya Imam Dawud Ibn Ali. Fuqaha yang datang sesudahnya memperhatikan fatwa dan memberikan fatwa terhadap yang telah terjadi atau yang mungkin terjadi.

Sebab dari madrasah hadits yang hanya memelihara hadits dan tidak memecahkan persolan – persoalan yang tidak terdapat nashnya (haditsnya), maka secara tidak langsung timbullah hadits – hadits palsu. Karena sebagian masyarakat islam pada zaman itu tidak keberatan membuat hadits – hadits palsu, membuat hadits palsu untuk menguatkan pendiriannya, baik yang dibuat oleh tukang – tukang cerita ataupun yang dibuat – buat oleh orang – orang yang fanatik mazdhab untuk menguatkan pendirian imamnya dan madzhabnya. Tetapi, yang demikian itu tidaklah mempengaruhi fiqh karena para ulama sangat meneliti benar benar mana hadits yang shahih dan mana yang tidak. Dan para fuqaha pun sangat berhati –hati dalam menghadapi hadits palsu.

 

2.      Madrasah Ra’yi (Aliran Rasionalisme)

Irak adalah suatu daerah yang jauh dari daerah hadits yang belum lagi dibukukan itu. Hadits yang sampai kesana hanyalah hadits – hadits yang dibawa oleh sahabat yang datang kesana, antara lain oleh Ibn Mas’ud, Ali Ibn Abi Thalib, Sa’id Ibn Abi Waqash, Abu Musa Al Asyari, Al Mughirah Ibn Syu’bah dan Anas Ibn Malik. Di Irak juga timbul masalah hadits palsu karena sebab timbulnya masalah khilafiyah yakni Syi’ah dan Khawarij dan terdapat pula orang – orang yang islamnya belum kuat, belum sampai ke lubuk hatinya, sehingga mereka berani membuat hadits palsu.

 

Pendiri  madrasah ra’yi ini adalah : Abdullah Ibn Mas’ud. Diantara sahabat Ibn Mas’ud yang terkenal di Kufah (Irak), ialah :

a.       Al Qamah Ibn Kais An Nakha’i (wafat 62 H)

b.      Al Aswad Ibn Yazid An Nakha’I (wafat 75 H)

c.       Masruq (wafat 63 H)

d.      Syuraih (wafat 82 H)

e.       Al Harits Al A’war (wafat 81 H)

 

Mereka semua adalah fuqaha abad pertama yang wafatnya antara tahun 62 sampai 82 H, Sesudah itu madrasah ini dipimpin oleh Ibrahim An Nakha’i. Ibrahim An Nakha’i belajar ilmu fiqh dari Abu Sa’id Al Khudri. Selanjutnya, setelah wafatnya Ibrahim An Nakha’i, madrasah ra’yi di Kufah ini dipimpin oleh Abu Hanifah, yang kepada beliaulah nama madrasah ini disandarkan, sehingga madzhab hanafiyah merupakan madzhab ra’yi.

Madrasah ra’yi berpendapat, bahwa agama islam telah sempurna sebelum Rasul wafat. Syari’at islam dapat dipahami maknanya, dapat diselami illat – illatnya. Karena itu fuqaha madrasah ini membahas illat – illat hokum dan menentukan hukum sesuai dengan perputaran illat – illatnya. Karenanya mereka tidak takut – takut memberi fatwa terhadap sesuatu masalah yang belum terjadi. Mereka sangat takut (sangat berhati – hati) menerima sesuatu hadits karena takut kalau – kalau hadits itu palsu.

 

 

 

D. Macam – Macam Madzhab Fiqh

 

1.      Madzhab – Madzhab yang Timbul karena Perbedaan Politik

Perdebatan dalam masalah – masalah yang mengenai bidang fiqh yang dipengaruhi persoalan politik seperti dalam hal pemerintahan, siapa yang berhak menjadi khalifah, hukum – hukum bughat dan pemberontak dan hukum – hukum  menentang iman.

Berikut madzhab – madzhab yang muncul karena perbedaan politik, antara lain Syi’ah dan Khawarij.

a. Golongan Khawarij

Golongan khawarij adalah golongan pemberontak yang didirikan karena tidak setuju dengan takhim antara Ali dan Mu’awiyah, dan menentang kezaliman itu, adalah tugas setiap pribadi yang harus dilaksanakan. Mereka berpendapat bahwa khalifah adalah hak mutlak bagi Allah saja tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau suatu golongan, karenanya tak boleh diangkat melainkan orang yang cukup cakap dan ahli, darimana saja dan siapa saja.

Mazhab mereka berdiri atas dua bentuk asas .Pertama mengenai khalifah itu harus dipilih bebas merdeka, walaupun yang dicalonkan itu seorang hamba dan mereka berpendapat bahwa khalifah itu tidak harus satu saja untuk seluruh daerah, boleh setiap satu daerah memiliki satu khalifah.

Kedua, teori yang menetapkan bahwa mengerjakan perintah agama adalah suatu suku iman, karena itu orang yang beriman kepada Allah dan Muhammad, tetapi tidak mau mengerjakan sesuatu perintahnya dipandang kafir.

Golongan Khawarij ini terbagi kepada beberapa golongan lagi, diantaranya,

a. Ibadliyah,yaitu partai yang didirikan oleh Abdullah bin Ibadl Attamimi

b. Azarikah,mazhab pengikut Nafi’I bin Azraq

c. Najdiyah, Pengikut Najdah bin Amir

d. Shafariyah,Pengikut Abdullah bin Shaffar AlSa’di

Madzhab Syi’ah

 

Yaitu, orang yang berpendapat bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah karena khalifah itu adalah pusaka yang bersifat moral dari Rasul dan memang Ali sudah diwashiyatkan untuk itu, yang karena itu mereka menamai Ali dengan washiyur Rasul. Mereka berpendapat bahwa khalifah itu harus orang yang diwashiyatkan oleh orang yang digantii itu. Mereka sependapat, bahwa yang menjadi khalifah sesudah Nabi, ialah Ali, kemudian Hasan dan Husain dan kemudian Ali Zainal Abidin ibn Husain.

 

Golongan Syi’ah ini kemudian menjadi beberapa partai lagi disebabkan karena perbedaan pendapat dalam soal pemegang tampuk pemerintahan. Ada yang berpendapat bahwa tampuk pemerintahan harus dipegang oleh anak keturunan Siti Fatimah dengan cara ditunjuk, merekalah golongan Syi’ah Imamiyah. Ada yang berpendapat bahwa tampuk pemerintahan itu harus dipegang oleh keturunan Siti Fatimah tetapi dengan pemilihan, mereka adalah golongan Syi’ah Zaidiyah. Dan ada golongan Syi’ah Kaesaniyah dan Syi’ah Ismailiyat. Namun, yang termasyhur dan masih berkembang dengan pengikut yang banyak hingga sekarang, adalah Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah.Berikut penjelasannya :

1.      Madzhab Syi’ah Zaidiyah

Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.

 

Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah di Yaman. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.) yang menyusun bukual-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.

 

Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, haram mengawini wanita ahlulkitab,tidak membolehkan menyapu sepatu dalam berwudhu. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi.

 

2.      Madzhab Syi’ah Imamiyah

 

Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi ’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar.

Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.

Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M).

 

Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm ad-Din.

Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:

1.      Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang diharamkan ahlus sunnah;

2.      Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah tidak perlu; dan

3.      Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.

Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran sekarang, sejak Iran diperintah oleh dinasti Shafawiyah yaitu keluarga Ismail As Shafawi (907 H). Sedangkan pembangun madzhab syi’ah imamiyah di Iran adalah Abu Ja’far Muhammad Ibn Al Hasan Ibn Farukh Al Qummi (250 H) dengan kitabnya yang berjudul Basyairud Darajat fi Ulumi Ali Muhammad.

2.      Madzhab Sunni yang Masih Berkembang

Berdasarkan ini, madzhab ahl sunnah terbagi kepada dua madrasah : Ra’yi dan Hadits. Kemudian kedua – duanya kian lama kian rapat, hingga tidak ada lagi pemisah antara keduanya.

Ibn Qutaibah dalam kitab Al Ma’arif halaman 216 menggolongkan Malik, Syafi’I dan Abu Hanifah ke dalam golongan Ahlur Ra’yi.

Asysyahrastani dalam kitab Al Milal halaman 160 menggolongkan Abu Hanifah ke dalam golongan Ahlur Ra’yi, sedangkan Malik, Syafi’I, Ahmad dan Dawud ke dalam golongan Ahlul Hadits. Berikut ini penjelasan dari madzhab – madzhab ahl sunnah :

a.      Madzhab Hanafi

Pendiri madzhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H atau 699 M dan wafat pada tahun 150 H bertepatan dengann lahirnya Imam Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.

Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad ke-2 H dan banyak belajar pada ulama – ulama tabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula ibn Umar. Beliau disebut wadli’ ‘ilmi fiqh (sumber atau lembah ilmu fiqh)

Madzhab Hanafi adalah sebagai nishbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi madzhab Hanafi adalah nama dari kumpulan – kumpulan pendapat –pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid – muridnya serta pendapat – pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama – ulama Irak (Ahl Ra’yi). Maka disebut juaga madzhab Ahl Ra’yi masa Tabi’it Tabi’in. Corak pemikiran hukum madzhab ini adalah rasional.

Metode fiqh madzhab Hanafi jika kita rincikan maka ada 9 ushul istinbath, yaitu :

1.      Al – Qur’an

2.      Hadits Nabi, diutamakan yang shahih – shahih dan yang masyhur saja.

3.      Perkataan Sahabat (Madzhab Shahaby)

4.      Qiyas

5.      Ijma’

6.      Istihsan

7.      Istishab (Sebagian kecil ulama madzhab Hanafi)

8.      Syar’u Man Qablana

9.      Dalalatul Iqtiran

Kitab Imam Abu Hanifah, diantaranya : Kitab “Al – Faraid” (Harta Pusaka)

Daerah – daerah penganut madzhab Hanafi, diantaranya : Kufah (Irak) tempat awal pertumbuhan madzhab Hanafi, kemudian tersebar ke negara – negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.

Dan madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afghanistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

b.      Madzhab Maliki

Madzhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat – pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.

Nama lengkap beliau adalah Imam Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al – Harits. Lahir pada tahun 93 H – 179 H / 712 M – 798 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan sebutan “Sayyidi Fuqahail Hijaz” pemimpin para ulama fiqh Hijaz. Imam Yahya bin Said Al – Qahthan, menggelarinya sebagai “Amirul Mu’minin Fil Hadits”. Imam Syafi’I berkata : “Apabila dibicarakan tentang hadits dan tentang keulamaan maka Imam Malik adalah bintangnya”.

Imam Malik belajar pada ulama – ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdurrahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula ibn Umar dan Ibnu Syihab Az – Zuhri.

Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh iaslah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Corak pemikiran hukum madzhab ini adalah dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual.

Metode fiqh madzhab Maliki dapat diurutkan sebagai berikut :

1.      Nashul Kitab (Ayat Al – Qur’an yang jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain)

2.      Dzaahirul Kitab (Umum. Ayat Al – Qur’an yang jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain)

3.      Dalilul Kitab (Mafhum Mukhalafah dari suatu ayat Al – Qur’an)

4.      Mafhum Muwafaqah dari suatu ayat Al – Qur’an

5.      Tanbihul Kitab terhadap illat (Tujuan ditetapkannya hukum karena sebab illat)

6.      Nash – Nash Sunnah

7.      Dzaahirus Sunnah

8.      Dalilus Sunnah

9.      Mafhum Sunnah

10.  Tanbihus Sunnah

11.  Ijma’

12.  Qiyas

13.  Amalu Ahlil Madinah

14.  Qaul Shahabi

15.  Maslahah Mursalah

16.  Istishab

17.  Syar’u Man Qablana

18.  Syadzudz Dzari’ah

19.  Dalalatul Iqtiran

Madzhab ini adalah kebalikan dari madzhab Hanafi. Kalau madzhab Hanafi banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash – nash yang valid di Kufah, madzhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber – sumber syariah. Sebab madzhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, dimana penduduknya adalah anak keturunan para sahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih pada umumnya.

Kitab – kitab Imam Malik yang terkenal ialah : Al – Muwatha, dan Kitab Mudawanah Al – Qubra.

Daerah yang menganut madzhab Maliki awalnya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Maroko, Al Jazair, Tunisia, Libya, Bahrain dan Quwait.

c.       Madzhab Syafi’i

Madzhab ini dibangun oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris, yang bersanad Al – Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin As – Sa’ib Al – Hasyimi Al – Muthalibi Al – Quraisyi. Keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H / 764 M dan wafat pada tahun 204 H / 820 M pada malam jum’at, dan dikebumikan setelah shalat ashar pada tanggal 29 Rajab atau 19 Januari.

Guru Imam Syafi’i yang pertama adalah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekkah, Imam Malik bin Anas, Ibnu Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad. Imam Syafi’i sanggup hafal Al – Qur’an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al – Qur’an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir, kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh. Sejak di usia muda beliau sudah hafal kitab Al – Muwatha karya Imam Malik

Madzhab Syafi’i terdiri dari dua macam : Berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukiim. Yang pertama adalah Qaul Qadim, yaitu : Madzhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak (195 – 197 H). Dan yang kedua adalah Qaul Jadid, yaitu : madzhab yang hidup di Mesir pindah dari Irak (Pada tahun 199 H).

Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahid yang lain adalah beliau merupakan imam pertama dalam Ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar – Risalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari madzhabnya adalah Al – Umm. Orang – orang Makkah memberikan julukan “Nashirul Hadits” (Penolong memahamkan hadits)

Corak pemikiran hukum madzhab ini adalah antara hadits (tradisional) dan ra’yi (rasional). Metode fiqh madzhab Syafi’i diambil berdasarkan :

1.      Al – Qur’an

2.      As – Sunnah

3.      Ijma’

4.      Qiyas

5.      Maslahah Mursalah

6.      ‘Urf

7.      Istishab

8.      Syar’u Man Qablana

9.      Dalalatul Iqtiran

10.  Istidlal

Berikut ini merupakan beberapa kitab karya Imam Syafi’I :

1.      Ar – Risalah, tentang Ushul Fiqh

2.      Al – Umm, tentang Fiqh

3.      Al – Musnad

4.      Al – imla’

5.      Al – Amaly dan lain – lain

Daerah – daerah yang menganut madzhab Syafi’i, diantaranya : Libya, Mesir, Indonesia, Philipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Syiria, Irak, Madinah, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni – Rusia dan Yaman.

d.      Madzhab Hambali

Pendiri madzhab Hambali adalah : Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Azzadahili Assyaibani. Beliau lahir di Baghdad tahun 164 H / 780 M dan wafat pada tahun 241 H / 855 M. Beliau mencurahkan perhatiannya terhadap hadits sejak berusia 16 tahun.

Guru – guru beliau diantaranya : Sufyan bin Uyainah, ,Ibrahim bin Saad, dan Yahya bin Qaththan. Murid – murid beliau yang masyhur diantaranya : Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnn Abid Dunya, dan Ahmad bin Abil Hawarimy.

Menurut Abu Zur’ah, Imam Ahmad bin Hanbal memiliki 12 karya kitab yang sudah beliau hafal di luar kepala dan memiliki 1.000.000 (satu juta) hafalan hadits. Imam Syafi’i berkata : “Ktinggalkan kota Baghdad dengan tidak meninggalkan apa – apa, selain meninggalkan orang yang lebih takwa, dan lebih alim dalam ilmu fiqh yang tiada taranya”

Beliau wafat pada hari jum’at, bulan Rabi’ul Awal di Baghdad dan dikebumikan di Marwaz. Jenazahnya diantar oleh 800.000 orang laki – laki dan 60.000 orang perempuan, 20.000 orang nashrani dan banyak orang yahudi dan majusi masuk Islam.

Corak pemikiran madzhab ini adalah hadits (tradisional). Dan metode fiqhnya diambil dari :

1.      Al – Qur’an atau As – Sunnah

2.      Fatwa sebagian sahabat

3.      Pendapat sebagian sahabat

4.      Hadits mursal atau hadits dhaif

5.      Qiyas

6.      Istishab

Kitab – kitab Imam Hambali selain seorang ahli mengajar dan mendidik, ia juga seorang pengarang. Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Diantara kitabnya adalah sebagai berikut :

1.      Al – Musnad Al – Kabir

2.      Tafsir Al – Qur’an

3.      Al – Nasokh wa Al – Mansukh dan lain – lain.

Daerah yang menganut madzhab Hambali, diantaranya awal perkembangannya di Baghdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Kemudian Libya, Mesir, Indonesia, Saudi Arabia, Palestina, Syiria, Irak, Jazirah Arab.

Pada abad XII madzhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Dan masa sekarang ini menjadi madzhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut yang terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Syiria dan Irak.

 

 

 

 4.      Madzhab Fiqh yang Telah Lenyap

Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:

1. Mazhab al-Auza’i

Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza’i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata: "Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW)."

Mazhab al-Auza’i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Mazhab al-Auza’i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi’i. Dalam al-Umm, asy-Syafi’i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza’i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza’i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza’i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.

2. Mazhab as-Sauri

Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.

3. Mazhab al-Lais bin Sa’ad

Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa’ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3 H.

Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan.

Dalam fatwanya, al-Lais tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya, hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara’. Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais, menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah nash).

4. Mazhab ath-Thabari

Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.

Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi’i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.

5. Mazhab az-Zahiri

Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.

Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur’ an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma’. Ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma’, karena ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi’i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra’yu (rasio semata):

Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.

Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar)

 

 

D. Faktor – Faktor Penyebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Imam Madzhab Fiqh

            Muhammad Abdul Fath Al – Bayanuni dalam Dirasat fi Al – Ikhtilaf Al – Fiqhiyyah, menjelaskan “asal muasal perbedaan hukum – hukum fiqh disebabkan timbulnya “ijtihad” terhadap hukum, terutama pasca – Nabi dan sahabta meninggal dunia.

Al –Bayanuni menjelaskan bahwa faktor utama perbedaan itu ada dua : (1) kemungkinan yang terkandung dalam nash – nash syariah (Al – Qur’an dan Al – Hadits) dan (2) perbedaan pemahaman ulama. Kedua faktor dasar inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pendapat dan hukum. Secara matematis, Al – Bayanuni menjelaskan :

1.      Nash – nash yang mengandung kemungkinan akal dan pemahaman yang berbeda – beda pendapat yang bermacam – macam.

2.      Nash – nash yang qath’i akal dan pemahaman yang sama pendapat – pendapat yang sama pula.

Yusuf Qardhawi melihat bahwa sebab dan akar ikhtilaf terbagi menjadi dua : (1) ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor akhlak dan (2) ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor pemikiran.

Thaha Jabir menjelaskan bahwa faktor – faktor penyebab ikhtilaf terbagi menjadi tiga: (1) faktor bahasa, (2) faktor periwayatan, dan (3) faktor kaidah dan metode istinbath.

Syekh Muhammad Al – Madany dalam bukunya Asbab Ikhtilaf Al – Fuqaha’, membagi sebab ikhtilaf pada empat macam : (1) pemahaman AL – Qur’an dan As – Sunnah, (2) sebab – sebab khusus tentang sunnah Rasul, (3) sebab – sebab yang berkaitan dengan kaidah – kaidah ushuliyyah atau fiqhiyyah, dan (4) sebab – sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Al – Qur’an dan As – Sunnah.

Syekh Muhammad Abu Zahrah menguraikan bahwa sebab – sebab ikhtilaf terdiri dari empat, ikhtilaf terhadap : (1) Al – Qur’an, (2) As – Sunnah, (3) Ra’yi (Qiyas), (4) Ijma’ proses Ijma’, bentuk Ijma’ dan Ijma’ Ashliyah.

Muhammad Said Thantawi, menguraikan beberapa sebab perbedaan ulama fiqh fuqaha dalam menggali hukum Islam, sebagai berikut :

1.      Perbedaan dalam makna dan maksud sebagian lafadz dan ayat – ayat Al – Qur’an

2.      Perbedaan dalam makna dan maksud hadits Nabi

3.      Perbedaan dalam membuat criteria penerimaan hadits Nabi : sebagian ketat, dan sebagian longgar.

4.      Perbedaan cara melakukan Ijma’, tarjih antara nash yang ta’arud dengan zahir nash, perbedaan cara melakukan Qiyas, Istihsan, Istishlah, Istishab, kaiah – kaidah penggalian hukum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Mazhab menurut pengertian  ialah hasil ijtihad imam tentang kaidah-kaidah istinbath untuk menggali suatu hukum , adapun beberapa madzhab Sunni yang  masih berkembang  yaitu Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali, Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Mazhab-mazhab tersebut dibedakan oleh perbedaan nash, perbedaan dalam makna dan maksud sebagian lafadz dan ayat – ayat Al – Qur’an, perbedaan dalam makna dan maksud hadits Nabi, Perbedaan dalam membuat criteria penerimaan hadits Nabi : sebagian ketat, dan sebagian longar, perbedaan cara melakukan Ijma’, tarjih antara nash yang ta’arud dengan zahir nash, perbedaan cara melakukan Qiyas, Istihsan, Istishlah, Istishab, kaiah – kaidah penggalian hukum.

 

B. Saran

Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan.Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan memperdalam keimanan kepada Allah swt.Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dalam penyajian.Oleh karena itu,sudilah kiranya pembaca memberi kritik untuk menyempurnakan makalah ini.Akhir kata,semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

 

  

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Syalthut, Prof. Dr. Mahmud. 2000. Fiqh Tujuh Madzhab . Bandung : Pustaka Setia

Ash-Shiddieqy, Prof. M.T. Hasbi. 1968. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta : C.V. Mulya

Yusuf, Drs. Hamdani. 2008. Perbandingan Mazhab.Semarang : PT. Cipta Jati Aksara

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama