SISTEM DAKWAH ISLAM DI INDONESIA MELALUI FILM
(Antara Idealisme Dakwah dan Transformasi Agama)
OLEH : AFINATUR ROHMAH
ABSTRAK
Puncak perfilman indonesia bertemakan Islam dewasa dalam perfilman nasional sesungguhnya bisa kita lihat dari dua perspektif, pertama dari perspektif idealisme dakwah dan kedua dari perspektif komodifikasi agama. Dalam perspektif idealisme dakwah, film-film bertemakan Islam bisa dimaknai sebagai strategi dan politik dakwah yang dikemas melalui aspek budaya seperti pada zaman kenabian. Dakwah harus “berkompromi” dengan teknologi sehingga aktualisasi dakwah semakin bergerak dinamis menyesuaikan dinamika sosial dan budaya. Sementara dalam perspektif komodifikasi agama, film-film bertemakan Islam sesungguhnya merupakan modifikasi agama oleh produksi massa dalam bentuk budaya populer. Dalam hal ini Islam mengalami komodifikasi ketika kepercayaan dan simbol-simbolnya berubah menjadi “komoditas yang bisa dibeli dan dijual demi keuntungan.”
Dalam konteks ini, penyiaran agama melalui film-film bertemakan Islam cenderung menguasai budaya populer di kalangan umat Islam, utamanya para kaum muda. Agama pada gilirannya hanya dikonstruksi untuk memenuhi kepentingan industri (pasar). Melalui film-film bertemakan Islam, ada semacam upaya mencari keuntungan disela-sela ruang publik nasional bagi agama. Dalam kasus ini, Islam ditampilkan dengan cara yang menarik, segar, dan tidak monoton dalam rangka membuat sebuah alternatif yang menarik bagi budaya kapitalis perkotaan. Di sinilah agama tidak lagi sakral, namun beralih menjadi barang komoditas yang diproduksi oleh pasar. Terlepas dari sejumlah kritik terhadap kehadiran film-film bertemakan Islam, yang pasti film-film bertemakan Islam setidaknya memenuhi “kehausan” dan kerinduan umat Islam terhadap produk budaya yang mewakili kepentingan umat Islam, utamanya dalam kerangka pengembangan dakwah berbasis teknologi modern. Film Islami dengan demikian sesungguhnya tidak sekadar mengusung idealisme dakwah, namun juga telah berkontribusi bagi pelanggengan budaya populer melalui komodifikasi agama.
Kata kunci : Film, Industri, Dakwah, dan Komodifikasi.
A. Pendahuluan
Film adalah media massa yang sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya yang sangat elok nan apik sekaligus sebagai alat informasi yang terkadang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda bahkan alat politik. Beragamnya fungsi film tersebut membawa implikasi, film tidak bisa dilihat dari satu sisi budaya saja, melainkan juga harus dilihat dari sisi historis, sosial, politik maupun ekonomi. Media massa pada umumnya seperti koran, televisi, dan film dipahami sebagai mesin produksi budaya dan pengkonstruksi realitas. Bahkan dalam banyak hal, media juga mampu menciptakan mitosmitos yang dilanggengkan masyarakat. Media tidak lagi dipandang sebagai sarana komunikasi saja, namun media juga dipahami sebagai mesin penanam ideologi tertentu.
Produksi pesan dalam media sesungguhnya merupakan medan benturan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Ruang social dan produksi makna yang diisi dan dikonstruksi oleh benturan kepentingan berbagai pihak. Hal ini senada dengan pernyataan Golding,’the production of meaning as the exercise of power’. Produksi makna mengandaikan pertarungan kekuasaan. Media yang notabennya merupakan produk budaya (cultural goods), termasuk film, sesungguhnya merepresentasikan ruang dialektis berbagai kepentingan. Film dalam konteks studi media dan budaya tidak hanya dipandang sebagai hiburan semata, namun sesungguhnya sarat kepentingan dan ideologi yang diperjuangkan banyak pihak di dalamnya. Tidak mengherankan jika perfilman pun kemudian menjadi industri yang menjanjikan keuntungan melimpah. Untuk hal ini, industri film Hollywood masih menjadi ‘tuan’ dalam jagad industri film di bumi manusia.
Salah satu film bernafaskan Islam di Indonesia yang berhasil menyedot antusiasme masyarakat penonton adalah film Ayat-Ayat Cinta garapan Hanung Bramantyo. Film ini diadaptasi dari novel karya Habibburahman El Shirazy. Mencoba mengikuti ‘kesuksesan’ film bertemakan Islam pertamanya tersebut, Hanung membuat film sejenis berjudul ‘Perempuan Berkalung Sorban’. Namun, film ini justru mendapat protes keras dari sejumlah kalangan, bahkan institusi sekaliber Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mengecam film yang satu ini. Kalangan muslim yang memprotes keras film ini beralasan karena isinya justru cenderung mendiskreditkan Islam sendiri. Film yang dibintangi oleh Revalina S. Temat ini pun menjadi film kontroversial yang bernafaskan Islam.
Film Ketika Cinta Bertasbih ini termasuk mega film yang pernah diproduksi oleh sineas Indonesia. Biaya produksi untuk film ini mencapai 20 Milyar. Sejak dirilis dan diputar pertama kali pada tanggal 11 Juni 2009 di bioskop-bioskop di Indonesia, film ini mampu menyedot 5 juta penonton lebih. Sebuah angka yang secara kuantitatif bisa dikatakan luar biasa untuk kategori film produksi dalam negeri. Fenomena maraknya produksi film nasional yang mengusung tema-tema Islam beberapa tahun terakhir dalam dunia perfilman di Indonesia patut untuk dicermati dan diikuti perkembangannya. Potret film Islam dalam industri perfilman nasional bisa dilihat sebagai bentuk idealisme dakwah sekaligus bentuk komodifikasi agama.
B. Pembahasan
Produksi media (film) sesungguhnya merupakan representasi penanaman sebuah ideologi. Penanaman ideologi berlangsung dengan sangat lembut (soft practice). Di sinilah sesungguhnya media merupakan ruang sosial di mana berbagai kepentingan dibenturkan. Film sebagaimana media massa pada umumnya sama sekali bukan lahir dalam ruang hampa, namun film apapun yang diproduksi selalu menggambarkan praktik produksi wacana dan penanaman ideologi.
Film tidak sekedar sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak penonton, namun juga menjadi sarana penting untuk menyebarkan dan menanamkan ideologi dan nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, film dan media harus dipahami sebagai arena yang tidak bebas nilai. Media tidak sekadar menjadi penghantar arus informasi, namun juga menghadirkan kembali realitas yang terjadi di masyarakat melalui sudut pandangnya. Pada tahap ini media tidak bisa lagi dimaknai sebagai institusi netral yang bebas kepentingan. Melalui teks media, sebuah ideologi bisa ditengarai bagaimana ia dikonstruksi dan diagregasi kepada khalayak umum.
Film mampu menjadi instrumen yang efektif dan efisien sebagaimana nilai atau wacana dominan didistribusikan dan dipenetrasikan dalam benak orang sehingga bisa menjadi consensus kolektif. Proses hegemoni yang ditawarkan dalam produksi media menjadi pola yang halus dan sering tidak disadari oleh para konsumennya. Proses hegemoni ideologi tersebut bisa berjalan seolah wajar karena nilai-nilai tersebut tersamar dalam film yang dibuat secara logis, rasional, dan sistematis.
Dalam sebuah film pasti terdapat yang namanya pendekatan baik kita sadari maupun tidak. Pendekatan sendiri dibagi menjadi tiga yaitu pendekatan reflektif, pendekatan intensional, dan pendekatan konstruksionis. Pendekatan reflektif menyatakan bahwa makna terdapat pada objek, orang, ide-ide ataupun kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata. Bahasa dalam hal ini berfungsi seperti cermin, merefleksikan makna sebenarnya yang ada di dunia. Dalam pendekatan ini Bahasa bekerja dengan refleksi atau peniruan sederhana tentang kebenaran yang telah ada, atau sering disebut dengan mimetic. Pendekatan intensional menyatakan bahwa bahasa dan fenomenanya memiliki pemaknaan atas pribadi penyampainya. Ia tidak merefleksikan tetapi berdiri atas dirinya dengan segala pemaknaannya. Setiap individu, pembicara, pengarang, termasuk sutradara sebenarnya memiliki sisi yang unik dalam memaknai segala sesuatu lewat sistem bahasa. Kata berarti apa yang coba disampaikan oleh si pengarang atau komunikatornya. Bahasa sendiri dalam hal ini tidak menjadi milik audiens.
Sementara itu pendekatan konstruksionis yaitu pendekatan dengan cara membaca karakter publik sosial sebagai bahasa. Ia memperhitungkan bahwa interaksi antar sosial yang dibangunnya justru akan bisa mengkonstruksi sosial yang ada. Dalam pendekatan ini bahasa dan pengguna bahasa tidaklah bisa menetapkan makna lewat dirinya sendiri. Ia harus dihadapkan dengan sesuatu yang lain hingga memunculkan apa yang disebut interpretasi. Teori konstruksionis tidak memandang media massa sebagai sesuatu yang netral melainkan sebagai institusi sosial budaya yang terlibat dalam produksi dan konstruksi makna.
Film Islami bisa diartikan film yang akan memaparkan tentang konsep, realitas, dan kehidupan Islami dari kehidupan orang, komunitas dan masyarakat Islam. Menurut Deddy Mizwar, film Islami bukanlah yang penuh simbol, tapi substansi. Oleh karena itu, menurutnya film yang dibuat oleh orang yang bukan Islam bisa saja dibilang film Islami. Deddy Mizwar mengemukakan sebagai berikut: “Kurangnya film Islami disebabkan kurang berdayanya kita sebagai umat Islam untuk berdakwah melalui film. Karena ketidakmampuan kita dalam membuat film jangan sampai urusan berdakwah Islam diserahkan pada umat lain.” Maka dari itu diharapkan para sineas muda membuat karya yang baik-baik.
Melalui film-film yang diproduksi, baik secara langsung ataupun tidak, umat Islam sebenarnya berusaha menampilkan identitas dirinya. Salah satu yang bisa dicermati dari beberapa film Islami yang telah tayang di layar lebar adalah kesan untuk ‘membenarkan’ bahwa Islam yang baik adalah Islam sebagaimana tampil di film-film tersebut. Simbol-simbol agama dipandang ‘sakral’ untuk mengukur keIslaman seseorang. Hal lain yang boleh jadi sangat memprihatinkan jika khalayak penonton, dalam hal ini kaum muslim, justru menyakini dan membenarkan bahwa Islam adalah arab dan arab adalah Islam
C. Kesimpulan
Banyaknya film bernafaskan Islam belakangan ini merupakan warna baru dalam industri perfilman di tanah air. Fenomena ini bisa diartikan bahwa agama telah bersentuhan langsung dengan budaya populer yang ditopang sepenuhnya oleh kekuatan media komunikasi. Film-film Islami yang banyak diproduksi belakangan ini bisa jadi merupakan upaya untuk menampilkan Islam dan identitas umat Islam dalam bentuk yang baru. Hal tersebut dapat kita lihat dari kalangan umat Islam saat ini, yaitu telah tumbuh sebuah gaya hidup yang mengacu pada lambang-lambang yang disebut Islami seperti sastra Islami, jurnalisme Islami, wisata Islami, pemukiman Islami, sekolah Islami, pakaian Islami, musik Islami, bank Islami hingga film Islami. Adanya kata Islami tidak Islami ini telah melahirkan dua pemisahan antara Islam dan tidak Islam yang pada gilirannya telah melahirkan bentuk sensibilitas dan semangat religius yang secara tidak sadar telah berubah menjadi bagian dari industri konsumsi gaya hidup. Sensibilitas keagamaan telah menjalani komodifikasi (komoditas) di pentas konsumsi massa yang dikonstruksi dalam sebuah pola kehidupan masyarakat Islam.
D. Daftar Pustaka
1. Abdul basit. Dakwah Cerdas Di Era Modern. Jurnal Komunikasi Islam | Volume 03, Nomor 01, Juni 2013
2. Andre irawan. Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012.
3. Agustinus, D. ‘Perfilman Indonesia di mata Sineas Muda’, dalam Imaji.
Buku Tahunan Perfilman, Pertelevisian, Fotografi. Jakarta:
Fakultas Film dan TV IKJ Jakarta, 2002.
4. Hakim Syah, Dakwah Dalam Film Islam di Indonesia. Jurnal Dakwah, Vol. XIV, No. 2 Tahun 2013.
5. HS, I. (2011). PERKEMBANGAN BENTUK PENYAJIAN DAN FUNGSI EINE KLEINE NACHTMUSIK K.525 KARYA WOLFGANG AMADEUS MOZART. Harmonia: Journal Of Arts Research And Education, 9(2).
6. Irawanto, Budi. ‘Melepas Jerat Kritik Formalistik: Mencari Dataran
Baru Kritik Film Indonesia’ dalam Nunung Prajarto
(penyunting) Media Komunikasi: Siapa Mengorbankan Siapa.
Yogyakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. 2006.
7. Kurnia, Novi. ‘Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman’ dalam
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Jogjakarta Volume 9
No 3 Maret. 2006.
8. Uthfi, A.N. ‘Mencari Bentuk Perfilman Nasional: Umar Kayam dan
Perfilman Indonesia (1966-1969)’. Dalam Ashadi Siregar dan
HT Faruk, Umar Kayam Luar Dalam. Yogyakarta: Pinus dan
Yayasan Seribu Kunang-Kunang. 2005.
Posting Komentar