BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih adalah salah satu hal yang erat kaitannya dengan islam. Semua yang berkaitan dengan ibadah dalam Al-Quran bersifat umum, jadi semua dijabarkan di dalam ilmu fiqih. Hal ini agar memudahkan para pemeluk agama islam. Karena pada dasarnya agama islam itu mempermudah pemeluknya, bukan malah mempersulit.
Indonesia tempat dimana ilmu fiqih sangat diperlukan. Namun sedikit sekali orang yang mau mencaritahu tentang asal-usul fiqih Indonesia. Maka dari itu dalam makalah ini akan membahas tentang fiqih Indonesia.
Hukum Islam (fiqh) adalah hasil ijtihad yang tidak lepas dari karakter sosio kultural yang melingkupinya. Sosio kultural dalam konteks Indonesia adalah ‘URF (adat kebiasaan masyarakat yang berlaku di Indonesia). Pengambilan ‘urf sebagai bagia n dari sumber hukum Islam dalam sejarah telah sering dilakukan oleh para ulama fiqh. Dalam perspektif diatas, Hukum Islam dengan karakter Indonesia (fiqh Indonesia) dapat dibentuk justru tdk dari nol, tetapi sudah ada bahan bakunya yaitu ‘URF (adat masyarakat). Dalil-dalil Ijtihadi, seperti maslahah mursalah memberi ruang gerak yang lebih komprehensif di dalam melakukan ijtihad baru utk merumuskan fiqh Indonesia yang sesuai dengan nuansa bgs Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah yang berjudul “Fiqih Indonesia dan Manfaatnya Bagi Masyarakat”, antara lain :
1. Apakah yang dimaksud Fiqih Indonesia?
2. Sejak kapan Fiqih Indonesia ada?
3. Apa saja manfaat fiqih bagi masyarakat?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan mendekripsikan mengenai Fiqih Indonesia
2. Mengetahui Awal muncul Fiqih Indonesia
3. Mengetahui manfaat fiqih bagi masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
1) Reorientasi Fiqih Indonesia
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak rakyat Indonesia.(Fiqih atau hukum Islam yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia). Penggagas Fiqh Indonesia : Prof. Dr. TM Muh. Hasbi ash-Shiddieqiey.
Namun tidak semua setuju dengan adanya Fiqih Indonesia, ada pro dan ada yang kontra. Pihak yang kontra terhadap fiqih beranggapan bahwa fiqih bersifat universal (Bukan syariah). Alie Yafie dan Ibrahim Hosen merupakan tokoh yang menolak adanya fiqih Indonesia. Meraka mengukur suatu konsep Fiqih Indonesia dengan anggapan mereka berdua, bukan berdasarkan konsep dari pencetus Fiqih Indonesia. Hal itu disebabkan oleh keengganan mereka berdua dalam meneliti Fiqih Indonesia secara teliti dan detail.
Sebaliknya, orang yang pro terhadap Fiqih Indonesia seringkali mencerminkan sikap yang sama. Mereka mendukung apa yang tidak diketahui. Hal itu dapat dilihat dalam buku Fiqih Indonesia dalam Tantangan. Menyebut bahwa Fiqih Indoensia gagasaan Hasbi saja, sedangkan mereka tidak, apalagi mengetahui ruang lingkup dan metodeloginya. Kesalahan ini diperjelas dengan pendapat Dr. Alyasa Abubakar yang tidak membedakan antara teori Mahzab Nasional (Hazairin dan Fiqih Indonesia (Hasbi).Hal itu dimulai ketika Alyasa menulis buku yang berjudul Fiqih Indonesia dalam Tantangan.
a) Fiqih Indonesia dan Reformasi Hukum Islam di Indonesia Abad ke-20
Secara garis besar, ada dua tema reformasi hukum Islam di Indonesia, yaitu : 1. Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah 2. Keinodnesiaan
Pada tema pertama bertujuan membersihkan praktik-praktik umat Islam dari pengaruh non Islam, membuka pintu ijtihad yang selama ini tertutup, mengganyang taklid, memperbolehkan talfik dengan cara memperkenalkan studi perbandingan mahzab. Reformasi ini di motori oleh ulama yang kurang menguasai sistem hukum Indonesia seperti A.Hasan, Moenawar Chalil, dan Hasbi. Ada pun organisasi dalam katagori ini, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad.
Keindonesiaan pada dasarnya kelanjutan dari tema pertama. Namun disisi lain tema ini kembali pada pandangan tradisional yang berusaha mempertahankan adat Indonesia. Ada dua kecenderungan utama tentang tema ini : Pertama, cita-cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dengan cara membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya konsep Fiqih Indonesia (Hasbi, 1940), Mahzab Nasional (Hazairin, 1950), Pribusasi Islam (Abdurrahman Wahid, 1988), Reaktualisasi Ajaran Islam (Muwari dkk, 1988) dan Zakat sebagai Pajak (Masdar F.Mas’udi 1991).
Kecenderungan yang kedua adalah keindonesiaan yang berorientasi konstitutional. Ini di motori oleh tokoh oleh tokoh-tokoh umum yang menguasai sistem hukum Indonesia, tetapi kurang medalami konsep-konsep “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah”.
b) Metodelogi Fiqih Indonesia
Fiqih Indonesia, sebagai suatu upaya pembaharuan bercorak lokal, harus terlebih dahulu menentukan ruang lingkup dengan cara membedakan tiga istilah di Indonesia yang sering dianggap sama.
Fakultas Hukum Islam di lingkungan perguruan tinggi yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan istilah untuk menyebut mata kuliah yang membahas tentang perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Batasan semacam ini menurut Hasbi jelas berakibat menciutkan pengertian syari’ah yang mencakup hukum-hukum akidah, akhlak, dan amaliah. Fiqih yang secara teknis sering dipahami sebagai ”hukum-hukum syari’ah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya”, merupakan bagian dari syari’ah itu sendiri, tetapi lebih luas daripada hukum Islam karena fiqih mencakup hukum-hukum muamalah dan ibadah, di mana aspek yang terakhir ini mencakup dalam istilah hukum Islam. Menyadari konsekuensi yang harus diterima bahwa menyamakan syari’ah dan fiqih berarti menganngap keduanya bersifat universal, absolut, dan abadi, maka Hasbi mengatakan bahwa syari’at Islam sajalah yang memiliki ketiga sifat tersebut. Dengan kata lain, syari’ah, begitu menurut Nourouzzaman menjelaskan pendapat Hasbi lebih sebagai hukum in abstracto dan sebaliknya fiqih lebih bersifat sebagai hukum in concreto. Lebih lanjut, Hasbi membagi fiqih menjadi fiqih Qur’ani yaitu hukum yang secara tegas ditemukan di dalam al-Qur’an dan fiqih Nabawi yaitu hukum yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an tetapi ditegaskan oleh Hadis. Ketiga adalah fiqh ijtihadi yaitu hukum-hukum yang dicapai melalui ijtihad para ulama.
Fiqih ijtihadi merupakan inti fiqih Indonesia yang dijiwai oleh syari’ah, bersifat dinamis dan elastis karena dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Jadi fiqih ijtihadi bersifat lokal, temporal, dan realtif. Jelaslah di sini bahwa kritik Alie Yafie dan Ibrahim Hoesen yang beranggapan bahwa fiqih itu bersifat universal, tidaklah mengenai sasaran.
Hal ini diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa Hasbi membatasi ruang lingkup fiqih Indonesianya pada bidang non-ibadah dan non-qat’i. Untuk menjustifikasi lokalitas fiqih Indonesia, Hasbi berpegang pada sejarah perkembangan fiqih (tarikh tasyri’). Tarikh tasyri’Hasbi, menurut Hasbi membuktikan bahwa fiqih lokal telah muncul sejak awal penyebaran Islam melawati batas-batas Mekah dan Madinah. Mazhab Hanafi di Kufah, Maliki di Madinah, Syafi’i di Baghdad (mazhab qadim) dan kemudian di Mesir (mazhab jadid), di samping mazhab Hambali di Baghdad, tentunya merupakan bagian dari contoh yang populer. Lokalitas mazhab-mazhab ini menurut Hasbi, dikarenakan perbedaan pendapat, tempat, adat istiadat dan jiwa si mujtahid sendiri. Walau dilegitimasi oleh tarikh tasyri Hasbi masih saja menekankan bahwa lokalitas fiqih Indonesia harus ditopang oleh studi kasus (dirasat al-waqa’i) mengenai masyarakat Indonesia dengan sistem masyarakat lainnya yang sezaman. Studi ini harus menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan studi hukum secara umum untuk melihat pengaruh dan kemampuannya menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya, dan setelah itu barulah memasuki fase problem soulving.
Hasbi menganjurkan agar para pendukung fiqih Indonesia menggunakan metode perbandingan mazhab manakala problem yang dihadapi sudah diberikan pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai mazhab yang ada. Perbandingan yang tidak terbatas pada mazhab Sunni ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, memilih dari kalangan empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab termasuk non-Sunni. Kedua-duanya dilakukakn demi mencari pendapat yang paling sesuai dengan konteks ruang, waktu, karakter dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Studi perbandingan mazhab ini harus diikuti dengan studi perbandingan ushul fiqh dari masing-masing mazhab, dengan harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu atau bahkan bersatu.
Studi perbandingan ushul fiqh ini dilakukan dengan tahapantahapan sebagai berikut :
1. Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegang oleh setiap imam mazhab maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan meneliti alasan-alasan mereka.
2. Mengkaji dalil-dalil yang dijadikan rujukan maupun yang diperselisihkan.
3. Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam mazhab mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih argumen-argumen yang kuat.
Tahapan-tahapan tersebut harus didukung dan didahului dengan pendirian Fakultas Ushul Fiqh atau paling tidak Jurusan Ushul Fiqih. Hasbi lebih menguatkan bahwa fiqih Indonesia akan sangat fleksibel jika didukung oleh perbandingan yang bersifat sistematis antara fiqih dan hukum adat Indonesia, antara fiqh dan sistem hukum Indonesia, antara fiqh dan syari’at (agama-agama) lain, dan antara fiqh dengan sistem hukum internasional. Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan
agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan illat (kausa) hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya :
1. Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak menyangkut masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas dalalah, tidak berlaku.
2. Istihsan dengan berbagai macamnya : istihsan bin naas, istihsan bil ijma’, istihsan bil qiyas, istihsan bid daruraah, istihsan bil maskahah, dan istihsan bil ’urf.
3. Istislah, dengan ketentuan bahwa sesuatu dapat dinyatakan sebagai maslahat jika merupakan maslahat hakiki; berlaku umum tidak hanya terbatas pada segelintir orang; harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Jika maslahah bertentangan dengan nash, maka maslahah mentakhsis (mengkhususkan) nash dengan menjadikan hadis ”La darara wa la dirara” sebagai kata kunci di akhir analisa.
4. ’Urf dengan ketentuan tidak menghalalkan barang haram dan tidak mengharamkan barang halal; dapat mendatangkan maslahat dan mengholangkan mafsadat; tidak bertentangan dengan nash sharih (ekspilist); di samping itu harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Atau
5. Istishab. Metode-metode ini selalu berjalan seiring dengan kaidah-kaidah yang relavan.
c) Mengindonesiakan Fiqih Indonesia
Tuntutan bahwa Fiqih Inodnesia mengimplikasikan Ushul Fiqih Indonesia akan mulai terjawab ketika dua komponen metodologi Fiqih Indonesia diindonesiakan.
Pertama, urf Indonesia dijadikan salah satu sumber hukum Islam di Indonesia. Disini hasbi memainkan peran penuh dalam mendekatkan kaum reformis puritan dengan praktik hukum umat Islam Indonesia.
Kedua, ijma’, Hasbi baru sampai pada tingkat teoritis melalui ijtihad jama’i dengan lembaga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd-nya. Di samping itu, beberapa lembaga yang didirikan umat Islam Indoesia belum ada ketika Hasbi mengemukakan pemikirannya. Oleh karena itu, ada baiknya kita kaitkan lembaga tersebut dengan lembaga sosial politik yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Hay’at al Tastri’iyyah bisa dikatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan mujtahid-mujtahid yang diambil dari perwakilan organisasi Islam. Ahl al-Hall wa al-‘Aqd dianggap Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Hay’at al-Siyasah dapat diterjemahkan jadi Dewan Perwakilan Rakyat dan Mejelis Permusyawaratan Rakyat. Umat Islam dapat memanfaatkan lembaga ini untuk tujuan yang sama demi terundangkannya nilai-nilai hukum Islam yang pelksanaannya memang membutuhkan legitimasi kekuasaan, dengan tidak memaksakan bidang-bidang yang tidak membutuhkan legitimasi kekuasaan.
Secara sejarah Fiqih Indonesia dikemukakan pada tahun 1940, sebelum Indonesia merdeka, dimana hal tersebut untuk menentang penjajah Belanda. Kata Fiqih Indonesia mencerminkan bahwa jiwa Hasbi adalah reformis yang dengan tegas mengatakan bahwa suatu mahzab akan lebih cepat berkembang apabila dianut oleh pemerintahan.Intinya Hasbi lebih menekankan pada kerjasama antara manusia.
Mnfaat Fiqih bagi masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Menjadi pondasi dalam berijtihad
Ilmu ushul fiqh merupakan dasar yang digunakan para ulama dalam berijtihad. Yakni memutuskan hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya dalam Al-quran dan Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh masyarakat sebagai landasan hukum.
Seseorang yang ahli ushul fiqih biasanya memiliki wawasan luas tentang tafsir Al-quran. Perbedaan hadist shahih, hasan dan dhaif, serta dalil-dalil yang benar menurut agama. Dengan demikian, pembentukan hukum islam bisa lebih mendekati kebenaran.
2. Memperluas wawasan tentang islam
Manfaat mempelajari ilmu ushul fiqh yang pertama adalah untuk memperluas wawasan tentang islam yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, apabila ada perkara tertentu maka kita bisa mencari dalil-dalil yang benar.
3. Menerapkan kaidah islam secara benar
Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan qiyas. Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci tentunya ia akan memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan demikian, ia pun dapat menerapakan kaidah islam secara benar.
4. Mengaplikasikan hukum sesuai syariat agama
Manfaat mempelajari ushul fiqh selanjutnya adalah untuk mengaplikasikan hukum yang benar sesuai syariat agama. Seorang mukallaf dan Mufti tentunya harus menguasai ilmu ushul fiqh agar bisa membuat fatwa yang tidak menyesatkan. Begitupun dengan hakim dalam mengambil keputusan juga sebaiknya berpedoman pada ushul fiqh sehingga keputusannya bisa dipertanggungjawabkan secara agama.
5. Menghindari Taqlid yang tidak benar
Taqlid merupakan tindakan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalil atau sumber yang dijadikan pedoman untuk pendapat tersebut. Terdapat ulama yang berpendapat bahwa taqlid diperbolehkan bagi orang awam yang tidak mengerti cara untuk menentukan hukum berijtihad. Namun adapula ulama yang tidak memperbolehkannya.
Taqlid hanya boleh dilakukan jika seseorang yang telah berusaha menyelidiki kebenaran dari perkara tertentu. Atau jika perkara tersebut memiliki dalil yang jelas maka tidak apa-apa mengikutinya. Terlebih lagi taqlid terhadap sunnah rasul, hal itu justru diwajibkan.
Namun jika taqlidnya mengikuti kebiasaan nenek moyang, seperti menyembah berhala, mencari pesugihan di gunung, atau membawa sesajen ke kuburan maka perbuatan tersebut haram karena bertentangan dengan syariat agama islam. Maka itu, sangat penting mempelajari ushul fiqh karena bisa membantu kita mencari hukum-hukum yang benar sebelum mengikuti suatu keputusan atau kebiasaan di masyarakat.
6. Memperkuat keyakinan terdapat hukum-hukum syara’
Hukum syara’ adalah hukum yang mengatur tentang kehidupan atau tingkah laku manusia dengan berdasarkan pada ketetapan Allah Ta’ala. Beberapa hukum syara’ ada yang tidak tertuang jelas pada Al-quran sehingga diperlukan ijtihad. Nah, apabila kita mempelajari ilmu ushul fiqh maka kita bisa lebih memahami tentang hukum syara’. Kita bisa lebih yakin mana hukum wajib, sunnah, makruh atau mubah.
7. Mengetahui bagaimana para mujtahid membentuk hukum fiqih
Manfaat selanjutnya dari mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui bagaiamana para mujtahid membentuk hukum fiqh di jaman dulu. Sehingga kita pun bisa menelaah dan membedakan mana hukum yang benar dan mana yang masih dalam batas dalam pertentangan.
8. Mencari kebenaran diantara madzab fiqh
Manfaat mempelajari ushul fiqh juga bisa membantu kita mencari kebenaran diantara ahli madzhab fiqih. Kita bisa membandingkan pendapat madzhab satu dengan yang lain. Lalu melakukan pembelajaran tentang masing-masing hukum, sehingga bisa ditemukan mana hukum yang paling sesuai dengan syariat agama islam.
9. Sarana untuk membentuk hukum fiqih
Ilmu ushul fqih sangatlah luas. Mempelajari ushul fiqh berarti mempelajari Al-quran dan Al-hadist secara menyeluruh hingga bagaimana cara menafsirkan dan mengembangkannya. Apabila seseorang mampu memahami ushul fiqh secara mendalam maka ilmunya bisa ia gunakan untuk menilai hukum fiqih yang telah ada, ataupun merumuskan hukum yang belum ada secara benar dan sesuai syariat islam.
10. Meningkatkan keimanan
Mempelajari ushul fiqh tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan saja, tapi juga bisa meningkatkan keimanan. Semakin kita mendalami konsep Al-quran dan Al-hadist maka iman tentu akan semakin kuat.
11. Memperkuat ketaqwaan
Selain meningkatkan iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita semakin mengetahui tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang hukum Allah Ta’ala. Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka kepada Allah. Hal ini bisa membuat ketaqwaan semakin meningkat.
12. Menyampaikan pendapat dengan benar
Sebagai umat muslim kita diwajibkan untuk mengemukakan kebenaran. Namun jika ilmu masih kurang, tentunya kita takut bila memberikan pendapat tertentu terkait agama. Bisa-bisa pendapat kita ini salah dan malah menyesatkan. Nah, maka itu mempelajari ushul fiqh bisa membantu kita lebih pede dalam menyampaikan pendapat yang benar sesuai syariat agama.
13. Membantu untuk berceramah sesuai agama
Tidak semua orang bisa berceramah. Seorang penceramah agama tentunya harus memiliki ilmu yang luas tentang dalil-dalil islam. Mempelajari ilmu fiqh sangat penting bagi seorang ulama atau ustad. Hal ini bisa membantu dalam berceramah yang benar dan tidak menyesatkan.
14. Membantu penyelesaian perkara secara islami
Di jaman modern ini kita sering menjumpai pertentangan pendapat terkait politik dan urusan agama. Kondisi tersebut tentu sangat krusial, bahkan bisa menyebabkan perpecahan masyarakat. Nah, apabila kita mengantongi ilmu agama (dalam konteks ushul fiqh) maka kita bisa menyelesaikan perkara-perkara tersebut dengan berprinsip pada agama islam yang sebenar-benarnya.
15. Memahami seluk-beluk keluarnya fatwa
Manfaat mempelajari ushul fiqh berikutnya dapat membantu kita memahami seluk-beluk dikeluarkannya suatu fatwa agama oleh lembaga tertentu. Memang jika lembaga tersebut sudah terpecaya, maka kita sudah cukup menuruti.
Namun terkadang fatwa juga mendatangkan pertentangan pendapat antara satu lembanga dengan lainnya. Nah, untuk mencari jalan keluarnya kita harus mempelajari ushul fiqh. Dengan demikian, kita bisa mengkaji mana pendapat yang lebih mendekati kebenaran secara agama.
16. Meluruskan penyimpangan-penyimpangan di masyarakat
Selanjutnya, dengan mempelajari ushul fiqh bisa membantu mengatasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Kita dapat menunjukkan dalil-dalil yang benar tentang suatu perbuatan atau hukum, sehingga semua hal bisa kembali pada islam yang sesungguhnya sesuai Al-Quran dan Sunnah Nabi.
17. Melindungi diri dari perbuatan dosa
Manfaat terakhir dari mempelajari ushul fiqh secara pribadi dapat melindungi diri kita dari perbuatan dosa. Pemahaman tentang Al-quran dan Sunnah secara mendalam akan meningkatkan iman dan taqwa. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan dosa bisa lebih diminimalisir sebab kita juga sudah tahu konsekuensinya. Jadi otomatis hati kita bisa lebih dekat dengan Allah Ta’ala.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hukum Islam (fiqh) adalah hasil ijtihad yang tidak lepas dari karakter sosio kultural yang melingkupinya. Sosio kultural dalam konteks Indonesia adalah ‘URF (adat kebiasaan masyarakat yang berlaku di Indonesia). Pengambilan ‘urf sebagai bagia n dari sumber hukum Islam dalam sejarah telah sering dilakukan oleh para ulama fiqh. Dalam perspektif diatas, Hukum Islam dengan karakter Indonesia (fiqh Indonesia) dapat dibentuk justru tdk dari nol, tetapi sudah ada bahan bakunya yaitu ‘URF (adat masyarakat). Dalil-dalil Ijtihadi, seperti maslahah mursalah memberi ruang gerak yang lebih komprehensif di dalam melakukan ijtihad baru utk merumuskan fiqh Indonesia yang sesuai dengan nuansa bangsa Indonesia dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia sendiri..
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrofiq. 2002. Fiqih Indonesia .Yogyakarta: Ar-Ruzz dan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga,.
Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: bUlan Bintang,1967.
إرسال تعليق